Setiap kita mungkin pernah pada fase dalam hidup, entah dahulu atau sekarang pun masih begitu, yang sesekali bertanya-tanya, apa pilihanku benar? Apakah aku punya passion? Bagi yang sedang menempuh pendidikan, kita pun sering mendengar istilah “salah jurusan”. Bagi yang bekerja, mungkin juga pernah gelisah, apa benar ini pekerjaan yang aku inginkan? Apakah aku akan mampu bertanggungjawab? Sepertinya aku tidak cocok di bidang ini. Sepertinya aku tidak cocok di tempat ini. Jiro Ono, seorang master sushi dari Jepang mengatakan seperti ini:
Segera sesudah Anda memutuskan pada satu pekerjaan, Anda harus membenamkan diri dalam pekerjaan Anda. Anda harus jatuh cinta dengan pekerjaan Anda. Jangan pernah mengeluh tentang pekerjaan Anda. Anda harus mendedikasikan hidup Anda untuk menguasai keterampilan Anda. Itulah rahasia kesuksesan dan merupakan kunci untuk dihargai secara terhormat. – Jiro Ono
Pengantar
Sekitar satu tahun belakangan, saya semakin tertarik mempelajari dan perlahan menerapkan konsep IKIGAI yang berasal dari Jepang. Setelah membaca beberapa buku dan melihat pengajuan konsep dari beberapa penulis, saya memutuskan mengikuti konsep yang dipaparkan oleh Kenichirō Mogi (Ken Mogi), seorang ilmuwan Jepang. Konsep Ikigai yang relevan diadaptasi dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk dalam pekerjaan kita, meski kita tidak berasal dari Jepang.
Ken Mogi menggambarkan Ikigai sebagai:
- Tentang menemukan, menetapkan dan mengapresiasi kesenangan hidup yang memiliki arti bagi Anda.
- Anda dapat menemukan dan menumbuhkembangkan Ikigai Anda sendiri, menumbuhkannya secara diam-diam dan dengan perlahan, sampai suatu hari Ikigai ini menghasilkan buah yang benar-benar orisinil.
- Memiliki rasa atau pemikiran tentang Ikigai mengarahkan kepada bingkai diri sendiri dimana seorang merasakan bahwa dia dapat membangun kegembiraan dan kehidupan yang aktif. Ikigai adalah barometer yang mencerminkan pandangan seseorang tentang kehidupan secara terpadu dan representatif.
Tulisan dalam artikel ini sebagian besar saya sadur dari tulisan Ken Mogi. Melalui lima pilar Ikigai yang digagasnya dan berdasarkan beberapa prinsip hidup yang dipegang teguh bangsa Jepang, mari kita mencoba memahami, merefleksikan diri dan mulai menemukan Ikigai kita.
Tentang Ikigai
Sebelum memulai perjalanan Ikigai Anda sendiri, mari terlebih dahulu melihat beberapa definisi Ikigai di bawah ini.
Hector Garcia dalam bukunya “Ikigai, The Japanese Secret to a Long and Happy Life”, menjelaskan definisi Ikigai. Dalam bahasa Jepang, Ikigai dituliskan 生き甲斐, kombinasi 生き yang berarti “hidup”, dengan 甲斐 yang berarti “menjadi berguna”. 甲斐 dapat dipecah menjadi karakter 甲 yang berarti “pakaian baja”, “nomor satu dan “menjadi nomor satu” (menuju ke pertempuran, mengambil inisiatif sebagai pemimpin) dan 斐 yang berarti “indah” atau “elegan”.
Erin Niimi Longhorst dalam “A Little Book of Japanese Contentments: Ikigai, Forest Bathing, Wabi-sabi and More” menyebut “Ikigai adalah hal dalam hidup kita yang menyediakan kekayaan yang menggembirakan – inilah yang memberi hidup, raison d’hotre (tujuan). Ada api di dalam diri kita semua; yang mungkin membakar lebih terang di beberapa bagian daripada yang lain, dan suatu waktu mungkin saja goyah, tetapi juga dapat kembali lebih tangguh, lebih panas, dan lebih kuat dari sebelumnya, dan dibutuhkan hal yang berbeda untuk menyalakan api pada diri kita masing-masing.
Nick Kemp pada website ikigaitribe.com menjelaskan Ikigai sebagai berikut: Kata Jepang ikigai sering diterjemahkan sebagai ‘tujuan hidup Anda’. Ikigai dapat mencakup tujuan hidup Anda, tetapi kata itu biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang membuat hidup seseorang berharga. Pada tingkat yang lebih dalam, Ikigai mengacu pada keadaan mental dan spiritual di mana individu merasa bahwa hidup mereka berharga ketika mereka bergerak maju menuju tujuan mereka. Menemukan Ikigai adalah proses menumbuhkan potensi batin Anda ketika Anda secara aktif mengejar apa yang Anda nikmati dalam melayani keluarga, suku dan komunitas Anda melalui peran hidup Anda.
Penggambaran yang lebih jelas tentang Ikigai, dicontohkan oleh Ken Mogi dalam bukunya yang berjudul “Awakening Your Ikigai”, berupa perjalanan hidup seorang legenda dalam kuliner di Jepang, bernama Jiro Ono.
Sukiyabashi Jiro adalah sebuah restoran sushi yang berlokasi di Ginza, Tokyo. Yang tidak biasa dari restoran ini adalah predikat bintang 3 Michelin yang dimilikinya. Restoran yang didirikan pada tahun 1965 ini hanya berkapasitas 10 kursi dengan area makannya mirip bar, dimana chef membuat sushi dan menyajikan langsung di depan pelanggan.
Pemilik Sukiyabashi Jiro adalah legenda bernama Jiro Ono, seorang yang punya kontribusi besar pada bidang kuliner di Jepang. Pemerintah Jepang telah memberikan gelar ‘living national treasure’ dan ‘modern master’ atas jasanya.
Sushi di Sukiyabashi Jiro disajikan sederhana dan otentik, dengan rasa dan kualitas yang nikmat. Tidak ada menu yang ditawarkan kepada pelanggan karena restoran ini menggunakan menu Omakase. Omakase berarti koki memutuskan menu untuk pelanggan. Menu ini ditentukan setiap hari dan terdiri dari sekitar 20 buah sushi, di mana setiap potong akan membuat Anda menginginkan lebih. Tidak seperti kebanyakan tempat, pada waktu yang berbeda terdapat menu sushi yang berbeda, yang membuat setiap perjalanan menjadi unik.
Barack Obama, Arnold Schwarzenegger, Tom Cruise, David Beckham and Anne Hathaway adalah beberapa nama tokoh dan artis kelas dunia yang pernah bersantap di Sukiyabashi. Saat ini Sukiyabashi Jiro tidak lagi dibuka untuk umum, hanya disambangi orang-orang tertentu. Saat ingin berkunjung, Anda harus memiliki koneksi khusus atau memesan melalui hotel-hotel mewah tempat Anda menginap. Berdasarkan informasi pada website Sukiyabashi Jiro, biaya untuk sekali makan adalah ¥40,000 (sekitar Rp.5.400.000,- untuk kurs saat ini).
Mengapa Sukiyabashi Jiro bisa menjadi restoran yang menyajikan sushi terbaik di dunia? Apa yang dilakukan oleh Jiro Ono?
Kehidupan Jiro Ono awalnya sangat sederhana. Keluarga termasuk Jiro Ono, harus membanting tulang untuk mencari nafkah. Bahkan sebelum ada peraturan yang melarang buruh anak di Jepang, saat masuk di Sekolah Dasar, dia mulai bekerja di sebuah restoran pada malam hari. Jiro Ono sering tertidur di kelas karena letih akibat bekerja berat. Lalu saat guru menghukumnya dengan menyuruh berdiri di luar kelas, Jiro Ono justru memanfaatkan waktu jeda dari pelajaran untuk pergi ke restoran tempatnya bekerja dan menyelesaikan tugas-tugasnya; atau mencuri waktu untuk kerja lebih awal.
Saat membuka restoran sushi pertama, niat Jiro Ono bukan untuk mendirikan restoran terbaik di dunia. Alasannya sederhana, lebih murah untuk membuka restoran sushi dibanding restoran jenis lainnnya. Selain itu, restoran sushi hanya memerlukan perabot dan peralatan yang amat sederhana. Membuka restoran sushi adalah upaya mencari nafkah bagi Jiro Ono saat itu.
Jiro Ono memiliki Ikigai untuk menyekong dan memotivasi dirinya dalam pengejaran kualitas yang tak kenal lelah. Dia mulai membuat perbaikan kecil-kecilan pada usahanya, merancang sebuah wadah khusus untuk membuat area meja restoran menjadi rapi dan bersih; memperbaiki beberapa peralatan untuk mempersiapkan sushi. Tanpa disadari, hasil kreasinya ini pada akhirnya juga digunakan restoran sushi lain dan diakui sebagai karyanya yang orisinil.
Saat ini Jiro Ono telah berusia 94 tahun dan masih tetap membuat sushi dan melayani pelanggan. Masakan Jiro Ono didasari oleh teknik yang praktis dan cerdik, misalnya:
- Jiro Ono mengembangkan prosedur istimewa untuk menyajikan telur ikan salmon (ikura) dalam kondisi segar sepanjang tahun. Hal ini didapat dengan cara hanya menyajikan ikura pada musim terbaiknya yaitu musim gugur, saat salmon mengarungi sungai untuk mengerami telurnya.
- Terdapat prosedur dimana daging ikan tertentu diasapi dengan batang padi yang dibakar untuk menciptakan aroma yang istimewa.
- Waktu penyajian sushi kepada tamu harus dihitung dengan cermat termasuk temperatur daging ikannya, untuk optimalnya rasa sushi.
Kesuksesan Jiro Ono tercipta karena bakat yang luar biasa, tekad kuat, kegigihan selama bertahun-tahun kerja keras, pengejaran tak kenal lelah akan teknik dan presentasi kuliner dengan kualitas tinggi. Di atas semuanya, ini bisa ada karena Jiro Ono memiliki Ikigai.
Ikigai adalah istilah Jepang untuk menjelaskan kesenangan dan makna kehidupan. Kata itu secara harfiah meliputi “iki” (untuk hidup) dan “gai” (alasan). – Ken Mogi
Selain pada target dan prestasi yang besar, Ikigai dalam bahasa Jepang digunakan dalam berbagai kontek dan dipakai mulai dari hal-hal kecil sehari-hari. Penting untuk diingat bahwa meski tidak sukses dalam kehidupan profesional, tetapi Ikigai dimungkinkan tetap dimiliki. Jadi, meski benar bahwa memiliki Ikigai bisa menghasilkan kesuksesan, tetapi kesuksesan bukan prasyarat untuk memiliki Ikigai. Kesuksesan tidak menjadi tolak ukur bahwa Anda memiliki Ikigai.
Bagi Jiro Ono, menerima pujian dari Presiden Amerika Serikat, Barack Obawa, bahwa sushi buatannya adalah yang terlezat yang pernah disantap sang presiden, adalah sumber bagi Ikigai. Diakui sebagai chef bintang-tiga Michelin tertua di dunia merupakan sepotong Ikigai yang menyenangkan. Namun, Ikigai tidak terbatas pada pengakuan atau pujian duniawi. Jiro Ono bisa menemukan Ikigai-nya hanya dari menyuguhkan sushi terlezat bagi pelanggan yang tersenyum atau merasakan udara sejuk saat pagi, kala dia bangun dan berangkat ke pasar ikan Tsukiji untuk berbelanja. Jiro Ono bahkan bisa menemukan Ikigai dalam secangkir kopi yang diseruputnya sebelum mengawali hari.
Pelajaran penting dalam Ikigai adalah di sebuah dunia yang menilai seorang manusia dari kesuksesannya ( dan ini membuat banyak orang tertekan), Anda perlu santai saja. Anda tidak harus membuktikan diri Anda bernilai dengan adanya prestasi-prestasi konkret seperti sebuah promosi atau investasi yang menguntungkan. Prinsip ini bukan berarti Anda menjadi tidak bekerja keras, tetapi kerja yang Anda lakukan tidak atas dasar penilaian orang lain dan tidak sampai membuat Anda tertekan.
Di daerah Okinawa, pulau di bagian Jepang paling selatan, banyak warga yang berusia lebih dari seratus tahun. Daerah ini termasuk pada “zona biru”, tempat yang memiliki budaya dan tradisi sendiri yang menyumbang pada usia hidup yang panjang. Penulis Amerika bernama Dan Buettner mengutip kata-kata warga Okinawa sebagai kesaksian terhadap inti dari Ikigai:
- Seorang master karate berusia 102 tahun memberitahu bahwa Ikigai-nya adalah memelihara seni bela dirinya;
- Seorang nelayan usia 100 tahun berkata bahwa Ikigai-nya dapat ditemukan dengan terus menangkap ikan bagi keluarganya tiga kali seminggu;
- Seorang wanita usia 102 tahun berkata Ikigai-nya adalah dengan menggendong cicit perempuannya yang sangat kecil, menurutnya rasanya bagai terbang ke langit.
Ikigai adalah tentang menemukan, menjelaskan, dan menghargai kesenangan-kesenangan hidup yang memiliki arti bagi Anda. Tidak masalah jika tak ada seorang pun yang bisa melihat arti khusus itu.
Ikigai-lah yang memberikan Anda motivasi berkelanjutan untuk menjalani hidup Anda, yang memberikan gairah hidup dan membuat Anda bersemangat menyambut kedatangan setiap hari baru.
Lima Pilar Ikigai dan Prakteknya Dalam Keseharian Masyarakat Jepang
Ken Mogi menyusun Ikigai dalam 5 pilar sebagai fondasi yang saling menyempurnakan. Kelima pilar tidak berdiri sendiri, tidak memiliki urutan atau hierarki yang khusus.
Pilar 1 : Awali dengan Hal yang Kecil
Pilar 2 : Bebaskan Dirimu
Pilar 3 : Keselarasan dan Kesinambungan
Pilar 4 : Kegembiraan dari Hal-Hal Kecil
Pilar 5 : Hadir di Tempat dan Waktu Sekarang
ALASAN UNTUK BANGUN PAGI
Kelima pilar Ikigai tidak hadir dari dasar motivasi besar tetapi pada ritual-ritual kecil dalam rutinitas bangsa Jepang. Hal itu dimulai dari bangun pagi. Ikigai terkadang diekspresikan sebagai “alasan untuk bangun di pagi hari”. Bangun pada awal hari paling berkaitan dengan Pilar 1: Awali dengan Hal yang Kecil.
JIka Anda menikmati waktu tidur yang cukup, otak menuntaskan tugas malamnya yang penting. Pada pagi hari, otak kemudian berada dalam kondisi yang segar, siap untuk mencerna informasi baru selagi Anda mengawali aktivitas harian Anda. Etos bangun di awal pagi telah tertanam dalam budaya masyarakat Jepang, karena berbagai pengaturan hormon di otak diketahui selaras dengan prosesi matahari, sehingga menjadi masuk akal untuk hidup selaras dengan matahari. Matahari merupakan sesuatu yang melambangkan kehidupan dan energi, dan sudah sejak lama merupakan obyek penyembahan di Jepang.
RADIO TAISO
Salah satu aktivitas fisik Jepang yang berorientasi pada budaya di pagi hari adalah RADIO TAISO (terjemahan Indonesia: kalistenik radio — senam singkat dengan iringan musik). Kalistenik adalah bentuk latihan dengan cara memaksimalkan penggunaan berat tubuh kita sendiri dalam proses membentuk otot). Aktivitas ini diperuntukkan bagi orang biasa dari segala usia. Senam ini dirancang pemerintah untuk meningkatkan kebugaran fisik masyarakat sejak tahun 1928. Radio Taiso menjadi kebiasaan rutin bagi masyarakat Jepang sejak saat itu. Radio Taiso diperkenalkan pada tingkat sekolah dasar, lalu selama musim panas pertemuan Radio Taiso lokal juga diadakan.
Kebiasaan mengikuti Radio Taiso dianggap memiliki nilai pendidikan yang besar di Jepang dalam mendorong anak-anak untuk tidur lebih awal dan bangun di pagi hari, sebuah kebiasaan sehat, apalagi di era ketika hiburan digital seperti games dan Youtube membuat anak-anak bisa terjaga sampai larut malam. Pada masa liburan, anak-anak didorong untuk hadir pada sesi Radio Taiso dengan imbalan perangko. Jika seorang anak mengumpulkan perangko dalam jumlah tertentu, mereka akan diberi hadiah permen atau alat tulis pada masa liburan.
Radio Taiso terkadang dipraktekkan di lokasi konstruksi, pabrik, tempat di mana persiapan fisik untuk bekerja di pandang penting, bahkan di kantor sebelum pekerjaan dimulai. Para orang tua juga mempraktekkan Radio Taiso, biasanya dengan berkumpul di taman untuk senam pagi setiap harinya. Para orang tua ini hadir pada pukul 06:30 tepat, persis saat Radio 1 NHK mulai memutar tema musik Radio Taiso.
Radio Taiso merupakan contoh dosis kecil kecerdasan dengan manfaat yang begitu luas. Radio Taiso menyatukan satu komunitas, pada Ikigai berarti menjaga Pilar 3: Keselarasan dan Kesinambungan.
MEMULAI HARI DENGAN YANG MANIS
Konteks bangun pagi juga menunjukkan Ikigai pada Pilar 4: Kegembiraan dari Hal-Hal Kecil mengingat kebiasaan di Jepang untuk pertama kali menikmati sesuatu yang manis di pagi hari. Secara tradisi dilakukan dengan menikmati teh hijau, meski kini ada yang menggantikannya dengan kopi atau teh hitam.
Kalau Anda memiliki kebiasaan menikmati kesukaan Anda segera setelah Anda bangun (misalnya, cokelat dan kopi), dopamin akan dilepaskan di otak Anda, menguatkan tindakan (bangun) sebelum menerima imbalan Anda (cokelat dan kopi).
SHOGI
Dalam pengalaman Ken Mogi, ada satu contoh pada warga Jepang terkait penggunakan komuter dalam perjalanan panjang. Setiap pagi sejumlah pekerja kantoran akan bermain SHOGI (catur Jepang) bersama-sama, menikmati waktu di perjalanan. Klub Shogi ini sama dengan klub Radio Taiso, menggunakan kekuatan komunitas dalam menempuh perjalanan komunter di awal pagi (Pilar 3: Keselarasan dan Kesinambungan).
Radio Taiso dan Shogi bisa dianggap sebagai skema yang pas untuk mempromosikan ikigai pada Pilar 1: Awali dengan Hal yang Kecil, Pilar 3: Keselarasan dan Kesinambungan, serta Pilar 4: Kegembiraan dari Hal-Hal Kecil.
Penciptaan Ikigai bagi Anda, dapat dibuat dengan menciptakan versi sendiri seperti Radio Taiso atau klub Shogi, misalnya membentuk klub buku bersama kolega atau menyiapkan sarapan lezat yang bisa Anda nantikan setelah berolahraga pagi. Prinsipnya: wujudkan kegembiraan dari melakukan hal-hal kecil, maka Anda dapat mengawali Ikigai Anda di pagi hari.
KODAWARI
Seperti yang kita ketahui, bangsa Jepang selalu senang mempertahankan standard yang tinggi. Bisa dibilang secara rata-rata bahwa bangsa Jepang akan mendapatkan nilai A+ bila menyangkut kualitas umum layanan dan keramahan. Terdapat satu konsep yang menjadi alasan Jepang secara konsisten mengantarkan barang dan jasa dengan kualitas tinggi, yaitu: KODAWARI.
Penjelasan tentang konsep Kodawari adalah:
- Kodawari sulit diterjemahkan, tetapi dalam bahasa Inggris sering dianggap sebagai komitmen atau desakan.
- Kodawari adalah standard personal yang dipatuhi seorang individu dengan sangat teguh. Meski tidak selalu, tetapi Kodawari sering kali digunakan sebagai acuan pada tingkat kualitas atau profesionalisme yang dipegang seorang individu.
- Kodawari adalah sebuah sikap, yang sering dipelihara sepanjang hidup seseorang. Kodawari bersifat pribadi dan merupakan perwujudan kebanggaan seseorang terhadap apa yang dilakukannya.
Kodawari secara singkat adalah pendekatan ketika kita memberi perhatian sangat besar terhadap detail-detail kecil. Dalam Ikigai, Kodawari adalah Pilar 1: Awali dengan Hal yang Kecil, tanpa perlu menjustifikasi upaya bagi skema-skema besar apapun.
Contoh penerapan kodawari dalam masyarakat Jepang dalam dilihat dengan begitu banyaknya restoran dan bar skala kecil, yang dimiliki dan dijalankan oleh individu pribadi, tidak bekerjasama atau berada dalam rantai perusahaan besar. Restoran dan bar ini memiliki suasana lokal, unik, individual dan mencerminkan selera pemiliknya. Tempat-tempat ini sering memiliki Kodawari no ippin (sebuah hidangan utama dan khas) yang dibanggakan pemiliknya. Hidangan ini mungkin melibatkan bahan-bahan spesifik atau fokus pada wilayah yang menjadi sumbernya atau pada jumlah waktu yang diperlukan untuk menyiapkan hidangan. Tempat-tempat dengan hidangan yang disiapkan secara unik ini dihadirkan dari keinginan untuk merayakan interaksi personal dan rasa komunitas.
Contoh lainnya adalah mie ramen. Mie jenis ini yang awalnya berasal dari China, telah menjadi berbagai jenis mie ramen ketika sampai di Jepang. Variasinya banyak sekali: berdasarkan rasa kuah, cara mie disiapkan dan pilihan bahan-bahannya. Memulai dengan hal kecil dan mengeksekusi tiap langkah hingga sempurna adalah etos bagi para pemilik kedai ramen di Jepang. Kodawari terkadang tampak seperti sifat yang tanpa kompromi dan terpusat pada diri sendiri. Namun sebenarnya, Kodawari adalah tentang komunikasi. Imbalan final dan personal dari melakukan setiap tugas-tugas kecil yang dibutuhkan dalam membuat semangkok ramen yang sempurna adalah senyum di wajah pelanggannya.
KODAWARI DAN BUAH MUSKMELON
Pada bidang pertanian, ada banyak petani yang mengabdikan seluruh waktu, upaya dan kecerdikan mereka untuk menciptakan hasil panen terbaik dan terlezat. Petani mempersiapkan tanah, merencanakan dan melakukan pemangkasan dan pengairan yang optimal, juga memilih jenis benih dengan sangat hati-hati. Petani berupaya sebaik mungkin, yang didorong oleh semangat memulai dari yang kecil.
Dalam konsep Kodawari, orang-orang mengejar target mereka sendiri melebihi ekspektasi yang wajar. Orang dengan semangat Kodawari tidak akan puas dengan hal-hal yang “biasa-biasa saja”. Menghasilkan hal-hal yang “rata-rata” atau “biasa-biasa saja” bisa membuat Anda sukses secara wajar. Namun, bagi orang yang mempunyai Kodawari, dia akan berupaya melampaui kewajaran, tanpa alasan yang nyata.
Semangat Kodawari ini bisa dilihat pada produksi buah, yang merupakan area bagi bangsa Jepang untuk menunjukkan tingkat Kodawari yang tinggi. Terdapat sebuah toko buah premium di Jepang bernama Sembikiya. Buah yang dijual di Sembikiya memiliki kualitas yang sangat tinggi, dijual dengan harga yang amat tinggi dan dengan penampilan buah-buahannya yang seperti karya seni. Contoh buah sempurna yang dijual di Sembikiya adalah muskmelon (dinamai demikian karena rasa kesturi/musk-nya yang khas). Sebuah muskmelon di Simbikiya bisa berharga ¥20,000 ($200) ke atas. Mengapa? Karena upaya ekstrem dan Kodawari yang dikerahkan dalam pembuatan muskmelon tersebut.
Muskmelon yang dijual di Sembikiya ditanam dengan metode “satu batang satu buah.” Dengan begitu, buah yang tumbuh tidak terlalu banyak sehingga mereka tidak merebut nutrisi yang mengalir ke satu target buah.
Buah yang dijual di Sembikiya merupakan seni biologis yang dihasilkan oleh Kodawari para petani berdedikasi.
Sebuah mangga kanjuku (matang sempurna) dihargai lebih dari ¥10,000 (sekitar Rp.1.000.000) sepotong di Sembikiya. Bagaimana rasanya menikmati potongan buah dari Sembikiya? Anda hanya bisa merasakannya dan menghargainya ketika menghancurkannya. Anda memasukkan buah ke dalam mulut, kunyah dan telan, lalu ia pun hilang. Pengalaman makan bernilai Rp.1.000.000 pun berakhir.
KEBAHAGIAAN SEBAGAI YANG FANA
Kisah bangsa Jepang dengan buah yang semperna merupakan cerminan akan keyakinan pada hal yang fana. Contoh nyatanya adalah Hanami, saat bangsa jepang mengagumi mekarnya bunga sakura di musim semi.
Bangsa Jepang memandang hal yang sementara dalam hidup dengan serius. Jika dihubungkan dengan Buddhisme, sakura melambangkan kefanaan. Sakura hanya mekar dengan indah untuk waktu yang sebenar, sama dengan kehidupan manusia yang singkat di dunia.
Menikmati muskmelon atau mangga yang matang sempurna hanya membutuhkan beberapa menit, kegembiraannya sesaat. Anda tidak dapat menggenggam lama pengalaman itu, bahkan kita tidak bisa selfie dengan rasa buah tersebut.
Kepercayaan pada kefanaan, menempatkan Ikigai ada pada Pilar 5: Hadir di Tempat dan Waktu Sekarang, dan mungkin merupakan pilar yang paling mendalam dari pilar lainnya. Namun, kegembiraan fana ini bukan hanya kekhasan Jepang. Bangsa Prancis menikmati kesenangan indrawi dengan sungguh-sungguh, demikian juga dengan China atau Inggris. Setiap kebudayaan memiliki inspirasinya masing-masing. Ikigai yang berasal dari memenuhi Kodawari seseorang, sering kali menjadi penggerak di balik tindakan-tindakan yang sangat berdedikasi untuk menciptakan hal-hal dengan perhatian yang sangat teliti.
Ketika Anda masih muda, tentu Anda tidak bisa memulai hal dengan cara yang besar. Apa pun yang Anda lakukan, biasanya tak banyak artinya bagi dunia. Oleh karena itu, Anda harus mulai dari hal yang kecil. Memulai dengan yang kecil merupakan ciri masa muda. Hal yang perlu banyak Anda miliki adalah keterbukaan pikiran dan jiwa keingintahuan, yang menjadi modal besar bagi tujuan seseorang.
SIMBOLISME BUNYI
Jepang memiliki aspek menarik dalam bahasa. Dalam bahasa Jepang terdapat ungkapan-ungkapan sebagai simbolisme bunyi, yang sering terbentuk dari satu kata yang diucapkan dua kali. Contohnya bura bura (berjalan santai dan acuh tak acuh), kira kira (cahaya yang gemerlap), ton ton (merujuk pada bunyi ketukan yang samar) atau don don (bunyi gedebuk yang berat). Terdapat 4.500 contoh simbolisme bunyi dalam bahasa Jepang yang terdata dalam kamus onomatopoeia yang disunting Mashiro Ono (Onomatopoeia adalah kata-kata yang merangsang indra pendengaran untuk memberikan gambaran objek yang direpresentasikannya karena teks memiliki keterbatasan dalam menyampaikan detail indrawi.).
Pada keseharian, termasuk dalam konteks profesional, sudah biasa bagi bangsa Jepang untuk menggunakan simbolisme bunyi. Fakta banyaknya simbolisme bunyi dalam bahasa Jepang menyiratkan adanya korelasi dengan cara bangsa Jepang memandang dunia. Bangsa Jepang membedakan berbagai macam suasana pengalaman, menaruh perhatian pada begitu banyak kualitas indrawi. Onomatopoeia ini mencerminkan pentingnya suasana indrawi yang detail dalam kehidupan Jepang.
Perhatian terhadap detail telah memupuk suatu kebudayaan bagi bangsa Jepang di mana para pengrajin menerima penghormatan pada masa ketika gelombang inovasi memberi janji untuk mengubah hidup manusia. Jepang selalu mempunyai banyak produk tradisional yang dibuat para pengrajin, dipandang begitu tinggi dan memainkan peran kunci dalam masyarakat Jepang. Hidup para pengrajin sering dipandang sebagai perwujudan Ikigai, kehidupan yang dipersembahkan hanya untuk menciptakan satu hal sepantasnya, betapapun kecilnya. Hal ini bisa terjadi karena pekerjaan para pengrajin sangat menguras tenaga dan menghabiskan banyak waktu; dan hasilnya cenderung memiliki kecanggihan dan kualitas tinggi.
Etika dan pekerjaan para pengrajin memberi dampak luas pada aktivitas ekonomi di Jepang. Pemahaman dan penanganan beragam kualitas indrawi bangsa Jepang telah mengarah pada kemahiran pekerjaan tangan dan teknik manufaktur yang tinggi. Untuk menjalankan operasi-operasi halus yang mendukung keahlian dan manufaktur teknologi tinggi, penting sekali untuk menaruh perhatian pada pengalaman indrawi. Selaras dengan keahlian, kemampuan kognitif dicerminkan dalam pembentukan linguistik sebuah bahasa dan kekayaan simbolisme bunyi mencerminkan kepekaan halus yang dibutuhkan tersebut.
PENYANGKALAN DIRI
Dalam pikiran bangsa Jepang, kualitas indrawi setara dengan dewa. bangsa Jepang cenderung meyakini bahwa terdapat kedalaman tak terbatas pada suasana-suasana yang dipertunjukkan oleh limpahan warna warni di alam dan artefak, sama seperti kedalaman kisah Tuhan yang menciptakan seluruh semesta.
Ada seorang wanita dayang-dayang yang melayani Permaisuri Teishi sekitar tahun 1.000 Masehi, bernama Sei Shonagon. Ia terkenal dengan koleksi esainya berjudul Makura No Soshi (The Pillow Book). Sei Shonagon memberikan perhatian yang sangat detail pada hal kecil dalam hidupnya. Contoh potongan esainya adalah:
“Hal-hal yang lucu. Wajah seorang anak yang dilukis pada buah melon. Seekor anak burung pipit melompat-lompat ke arah sumber pekikan mirip tikus. Seorang anak merangkak dengan cepat, menemukan serpihan kecil tanah, dan mencubitnya dengan jemari lentik, lalu menunjukkannya pada orang-orang dewasa.”
Tanpa kata-kata yang megah, Sei Shonagon menjelaskan kehidupannya dengan menaruh perhatian pada hal kecil yang ditemuinya dalam kehidupan, memahami pentingnya menghadirkan diri di tempat dan waktu sekarang. Sei Shonagon tidak membicarakan tentang dirinya sendiri, tetapi melalui hal-hal kecil di selilingnya, ia sudah mengungkapkan individualitasnya sendiri. Pendekatan Sei Shonagon dapat dihubungkan dengan konsep “kesedaran”. Untuk mempraktikkan kesadaran ini, penting untuk menghadirkan jiwa raga di tempat dan waktu sekarang. Pelekatan pada diri sendiri dipandang dapat menghalangi pencapaian kesadaran diri.
PARA MURID DI KUIL EIHEI-JI
Mieko Kamiya dalam bukunya On the Meaning of Life (Ikigai) menegaskan bahwa seorang anak yang riang tidak membutuhkan Ikigai untuk menjalani hidup. Seorang anak yang riang tidak dibebani dengan definisi sosial akan dirinya sendiri. Seorang anak belum terikat pada profesi ataupun status sosial tertentu. Alangkah menyenangkannya jika kita dapat mempertahankan cara pandang seorang anak sepanjang kehidupan kita.
Hal di atas mengarah pada pilar kedua ikigai, Pilar 2: Bebaskan Dirimu. Seperti Sei Shonagon yang tidak pernah merujuk posisinya sendiri di masyarakat, melupakan diri sendiri mengarah pada salah satu prinsip kunci Buddhisme Zen. Membebaskan diri sangat berkaitan dengan kehadiran diri di tempat dan waktu sekarang. Contoh konsep penyangkalan diri, dapat dilihat pada hidup para biksu di Kuil Eihei-ji.
Kuil Eihei-Ji berada di pinggir kota Fukui, salah satu pusat kemegahan Buddhisme Zen. Kuil ini adalah lokasi pembelajaran dan pelatihan calon biksu. Untuk diterima sebagai murid di Kuil Eihei-ji, seorang perlamar harus berdiri di depan gerbang kuil selama berhari-hari, terkadang di bawah guyuran hujan. Ada alasan mengapa pengenalan yang merendahkan pada dunia Zen itu dianggap perlu, terutama dalam hal penyangkalan diri.
Jikisai Minami, seorang pendeta Buddha yang memiliki pengalaman langka tinggal di dalam area Kuil Eihei-ji selama lebih dari 10 tahun, menyatakan bahwa salah satu aturan terpenting dari Kuil Eihei-ji (dan Buddhisme Zen) adalah bahwa tidak ada “sistem imbalan”.
Jika di dunia luar orang-orang mendapat nilai karena melakukan sesuatu yang baik atau berharga, di dalam kuil Eihei-ji tidak ada penghargaan bagi tindakan terpuji. Apapun yang Anda lakukan, betapapun tekunnya Anda bermeditasi dan berhati-hatinya Anda menunaikan tugas harian, semuanya tidak ada bedanya. Anda diperlakukan menjadi manusia anonim, nyaris tidak kasat mata, individualitas kehilangan nilai keberartiannya.
Kuil Euhei-ji terbuka untuk umum, para wisatawan dapat berjalan-jalan di area kuil. Antara wisatawan dengan para murid, kita bisa melihat perbedaan yang kontras. Para wisatawan membawa udara dunia dengan penekanan pada kesadaran diri, tekanan untuk menjadikan diri sendiri berguna, terutama untuk mengumpulkan simpati. Sebaliknya para murid berjalan seakan-akan mereka tidak menyadari keberadaan mereka sendiri, apalagi keberadaan orang lain. Para murid telah berhasil menjalankan pilar Ikigai yang kedua, yaitu membebaskan diri. Coba bayangkan Anda sebagai murid di Kul Eihei-ji. Meskipun kepuasan material akan minimal dan tidak akan ada kepuasan bagi ego, setiap momen yang dihabiskan di Kuil Eihei-ji menjadi aliran keindahan indrawi yang tidak terputus-putus. Anda akan merasakan kebahagiaan yang tak lekang, seakan-akan sebagai kompensasi atas kehilangan individualitas dan sistem penghargaan, ada limpahan keindahan yang syahdu di dalam kuil tersebut.
Membebaskan diri berhubungan dengan penemuan kesenangan-kesenangan indrawi. Dengan membebaskan diri dari beban diri, kita dapat membuka diri terhadap semesta tak terbatas dari kesenangan-kesenangan indrawi.
FLOW
Mihaly Csikszentmihalyi, seorang psikolog Amerika kelahiran Hongaria, menyampaikan konsep FLOW (mengalir).
Flow merupakan kondisi ketika orang-orang begitu larut dalam suatu aktivitas sehingga rasanya tidak ada hal lain yang penting. Inilah cara menemukan kesenangan dalam pekerjaan. Pekerjaan itu sendiri menjadi tujuannya, bahkan sesuatu yang mesti dijalani sebagai cara untuk mencapai sesuatu.
Saat berada dalam kondisi Flow, Anda tidak bekerja untuk mendapatkan uang bagi penghidupan, setidaknya uang bukan prioritas pertama Anda. Anda bekerja karena bekerja itu sendiri memberikan kesenangan yang sangat besar. Upah hanyalah bonus. Dengan hal ini maka penyangkalan diri menjadi pembebasan dari beban diri dan menjadi aspek fundamental Flow.
Flow berhubungan dengan pilar kedua ikigai, yaitu membebaskan diri sendiri. Secara alamiah memang Anda akan mengkhawatirkan kesejahteraan Anda sendiri, sebagai kepuasan dari keinginan Anda, dan hal ini wajar. Namun, untuk mencapai kondisi Flow ini, Anda harus melepaskan ego, akumulasi suasana tak terbatas dari elemen yang terlibat dalam pekerjaanlah yang penting. Ketika berada dalam kondisi Flow, Anda terbebas dari beban diri sendiri dan akan terlihat pada kualitas hasil kerja.
Tulisan ini belumlah lengkap, tetapi untuk saat ini saya akhiri dengan pernyataan:
“Rahasia terbesar ikigai adalah menerima diri sendiri, apa pun ciri-ciri unik yang mungkin kita miliki semenjak lahir. Jangan lupa untuk sedikit tertawa sembari mencarinya—hari ini dan setiap hari!”
Ikigai bukan tentang menghasilkan uang, bukan apa yang dunia butuhkan dari Anda, bukan tentang menemukan passion Anda, bukan tentang menemukan apa yang Anda cintai. Ikigai adalah mencintai apa yang Anda kerjakan, mensyukuri keadaan yang sekarang dan bersukacita dalam hidup.
Mari menjalani hidup, mengalir dan bersukacita, seperti kata Claire Wineland:
Kematian tidak bisa dihindari. Menjalani kehidupan yang bisa kita banggakan adalah sesuatu yang bisa kita kendalikan.
Bagian paling akhir saya tutup dengan pertanyaan: Apakah alasan yang membuat Anda bangun di pagi hari? Hal apa yang membuat kesenangan dan makna dalam hidup Anda? Apakah Ikigai Anda?
Referensi
- Andy. World’s Best Places. Sukiyabashi Jiro Honten.
- García, H., Miralles, F. 2017. Ikigai: The Japanese Secret to a Long and Happy Life. Gildan Media LLC.
- Ikigai Tribe. Ikigai Misunderstood and the Origin of the Ikigai Venn Diagram.
- Ikigai Tribe. 006 – Rock Star Neuroscientist, Ken Mogi’s 5 Pillars of Ikigai.
- Koh, I. Japan Travel. Sukiyabashi Jiro, Enjoy 3-star Michelin sushi in Ginza, Tokyo.
- Longhurst, E. N. 2018. Japonisme The Art Of Finding Contentment. Harper Non Fiction.
- Mogi, K. Awakening Your Ikigai.
- Mogi, K. 2018. THE BOOK OF IKIGAI: Make Life Worth Living.
- Ramhawati, A.A.D. Detik Food. 5 Fakta Resto Sushi Sukiyabashi Jiro yang Dicoret dari Michelin Guide.
- Feature Image: Photo by Jeremy Thomas on Unsplash
Views: 1626