Kali ini saya berbicara tentang sesuatu, sesuatu yang bukan tentang haram atau halal, tetapi tentang perannya sebagai komoditas ekonomi bagi sebagian besar masyarakat Batak, juga penyumbang besar terhadap kenangan masa kanak-kanak di kampung halaman.
Kampung kami, letaknya di lembah. Dingin? Pasti. Banyak jalan mendaki? Yes, it’s true 🙂
Di kampung kami, tak nampak Danau Toba, cuma ada Aek Sigeaon, sungai yang berada di tengah-tengah, membelah kota. Hmmm…pantas lah saya tak bisa berenang sampai sekarang, tak ada tempat berenang yang “layak” waktu saya masih muda belia enerjik dulu, hahaha… Bayangkan saja, tempat yang mungkin bisa dipakai untuk berenang adalah Aek Sigeaon yang jika musim babi sakit, siap-siap lah akan bertemu babi mati melintas di sungai. Satu lagi ada tempat yang tidak bisa saya sebut sebagai kolam renang, namanya pun keren, Sembat (entah siapa yang memberi nama). Letaknya juga jauh, ke arah Pea Na Hushus (nama ini menjadi cikal bakal brand kaos saya Hushus Land).
Ohhh maafkan lah saya, saya tidak sedang ingin bercerita tentang nasib saya yang tak bisa berenang atau tentang tidak adanya tempat berenang di kampung kami. Mari kita kembali ke rencana awal cerita saya.
Sekali lagi, di kampung kami tak ada Danau Toba-nya. Geliat pariwisata tidak terlalu berkembang seperti daerah Balige atau Samosir. Kami hanya punya sumber mata air belerang yang dijadikan pemandian air panas, lalu sumber air bersoda yang disebut “Aek Rara”, plus sekitar tahun 1990-an berdiri Salib Kasih di atas Bukit Siatas Barita. Kira-kira itu lah aset wisata kami, tak banyak memang. Jadi, sulit lah mungkin orang di kampung kami apalagi jaman dulu bercerita tentang kerennya Danau Toba itu, bagaimana nikmatnya berenang di airnya. Jalan-jalan ke Parapat melihat Danau Toba merupakan hal yang mewah bagi kami dulu. Dulu waktu masih anak sekolah di kampung, saya sering mendengar orang-orang yang pergi melihat Pesta Danau Toba di Parapat. Saya sampai sekarang, sekali pun belum pernah menyaksikannya, entah mengapa begitu.
Orang-orang di kampung kami mungkin tak terlalu hebat jika bercerita tentang danau, laut, air, dan sejenisnya. Tapi kami punya cerita sendiri. Cerita tentang hidup yang kami jalani sehari-hari, hidup, bekerja, sekolah di lembah yang indah dan penuh kenangan. Ini satu ceritanya:
Masyarakat di kampung kami dulu, mayoritas adalah petani, di samping para pegawai negeri dan para wiraswasta yang biasa dipanggil toke (ada Tokke Teleng, Tokke Rojan dan toke-toke lainnya). Selain menanam padi, biasanya sebagian besar keluarga beternak babi. Babi dipelihara di belakang rumah, di dalam kandang. Kami menyebutnya Pinahan Lobu atau disingkat Pinlo (pinahan = babi, lobu = kandang). Makanannya adalah dedak (sebenarnya sih kami menyebutnya dodak, hehe), ubi dan daunnya yang biasanya ditanam di kebun samping rumah. Makanan Pinlo ini biasanya dimasak di dalam drum bekas aspal, diatas kayu api. Setelah masak, makanan itu akan diletakkan di dalam tempat makanan babi yang terbuat dari kayu berbentuk segi empat, yang kami sebut Palakka
Babi or Pinahan or Si Pina or Pinlo adalah istimewa. Tanyakan saja pada anak-anak yang pernah memelihara babi, bagaimana siriknya mereka terhadap babi, Bayangkan saja, jika ibunya pulang dari ladang, apakah pertanyaan pertama yang dilontarkan sang ibu? Tentu saja “Tohappp, nga mangan pinahan?” (sebut saja nama si anak Tohap, maaf bagi yang bernama Tohap di seluruh dunia, ini hanya ilustrasi, tanpa maksud menghina, hehehe…). Bukankan hati akan teriris-iris saat si pina itu lebih diutamakan? Anak sendiri dinomorduakan, hiksss… (drama mode: on). Tetapi begitu lah adanya. Ditambah lagi, akan ada jadwal memandikan babi. Tambah lagi menunggui babi melahirkan. Pokoknya si Pina ini hebat lah…
Sebenarnya bukan orang tua tak sayang pada anaknya, bukan orang tua menomorsatukan pinlo. Justru karena kasih sayangnya, orang tua harus memastikan pinlo tetap sehat, bertambah beratnya sampai pada waktu pinlo harus bertemu ajalnya.
Pinlo adalah aset, tabungan. Pertengahan dan akhir tahun adalah masa-masa Pinlo harus meninggalkan kandang dan bertemu dengan pembeli. Pertengahan tahun adalah masa anak-anak naik kelas atau mulai masuk sekolah atau naik tingkat ke jenjang lebih tinggi seperti naik tingkat ke SMP, SMA atau perkuliahan. Pada saat itu lah aset tadi dijual, dijadikan modal untuk biaya sekolah anak. Membeli baju seragam (kami menyebutnya baju dinas), buku tulis baru, tas, sepatu. Bagi yang akan merantau untuk kuliah atau bekerja, hasil penjualan aset ini lah yang dipakai untuk berangkat ke negri tujuan.
Begitu pula pada akhir tahun pinlo kembali dijual, untuk biaya merayakan Natal. Membelikan baju baru untuk dipakai anak-anak berliturgi, membeli bahan baku membuat kue termasuk kacang tojin dan kembang goyang (or kambang loyang), dodol, dan daging kerbau yang mahal. Pokoknya banyakkkk…
Begitulah kisah si Pinlo, yang tak akan lupa dari ingatan. Si Pinlo yang dagingnya ikut membantu biaya sekolah, biaya merantau sampai si anak jadi sukses bahkan sampai jadi sarjana. Si Pinlo yang lucu lagi imut, nguik-nguik jika lapar, dan tertidur ketika kenyang.
Itu lah satu cerita dari kampung kami, kampung di lembah yang dingin dan tak ada danaunya, bernama Tarutung. Cerita yang menginspirasi saya untuk membuat kaos bertuliskan “Unforgettable Pinlo”.
Bagi yang pernah mengalaminya, mari merasakan kenangan bersama. Bagi yang tak lagi sempat merasakan, mungkin bisa bertanya kepada orang tua atau para oppung 🙂
Cerita di atas kemudian menginspirasi saya untuk membuat kaos berjudul “Unforgettable Pinlo”.
Views: 329