Trip ke Sumba sudah saya inginkan sejak setahun yang lalu. Someday harus ke sini… Kejadian, terkabul tahun ini.
Kekayaan budaya dan alam yang belum banyak diganggu oleh berdirinya bangunan-bangunan di sekitar tempat wisata adalah alasan saya berkunjung kemari. Satu lagi, kainnya cantik sekaliiii… ❤️
Hari pertama, ada dua tempat yang saya kunjungi:
1. Museum rumah budaya Sumba
2. Bukit Lendongara (Bukit LDR) untuk menikmati matahari terbenam.
Ketika tiba di museum, hampir saja kita kecewa karena ternyata museumnya tidak buka, hari Minggu. Jadi, kita melihat-lihat area museum dari luar. Dan… muncullah seorang bapak yang akhirnya memandu kita di museum. Frater Robert namanya. Terdengar familiar wajahnya ketika pertama kali saya melihat. Dan tanya ditanya, frater ternyata melayani sampai ke gereja Katolik di daerah Toba dan Tapanuli, termasuk Tarutung, asal daerah saya. Wowww…
Selama di meseum, saya mendengarkan dan melihat banyak filosofi adat Sumba yang hebat sekali. Dan saya sangat jatuh cinta pada filosofi tentang penyu dan kesetiannya. Bahwa ternyata, ketika bertelur di pantai, menelurkan ratusan butir telur, penyu akan meninggalkan telurnya dan kembali ke laut dengan berurai air mata. Telur-telur penyu yang dihangatkan pasir pantai, akan menetas dan bertumbuh dewasa. 35 tahun kemudian, anak-anak penyu yang telah dewasa akan kembali ke pantai, di titik yang sama dengan induknya dulu, dan menetaskan telurnya di sana.
Pertama, penyu mencontohkan hidup yang menghasilkan banyak hal dalam diam, berbeda dengan ayam yang bertelur dan bersuara sampai didengar satu kampung. Berkarya dalam hening.
Kedua, penyu di Sumba adalah tanda kesetiaan. Oleh karenanya, jika ingin meminang gadis Sumba, jangan berikan cincin emas, berilah cincin dari kulit penyu.
Views: 573